Jam Gadang
Siapa yang tidak mengenal nama tempat wisata yang satu ini? Jam Gadang adalah salah satu ikon dari Padang yang terletak di Bukittinggi https://thelembahindah.com/. Jam Gadang adalah ikon wisata yang merupakan peninggalan pada saat penjajahan Belanda.
Ikon Sumatera Barat ini memiliki catatan sejarah yang panjang dan menarik untuk diulas. Tempat wisata ini memiliki keunikan tersendiri yang membuatnya terkenal di kalangan wisatawan. Angka yang ada di Jam Gadang ditulis dengan menggunakan huruf romawi. Namun, angka 4 ditulis dengan III. Jika pengunjung berkunjung kesini, ada beberapa tempat wisata di seputar Jam Gadang yang juga cocok untuk dikunjungi.
am Gadang didirikan oleh Pemerintah Hindia-Belanda atas perintah dari Ratu Wilhelmina dari Belanda. Jam ini merupakan hadiah bagi sekretaris (controleur) Kota Bukittinggi (Fort de Kock) yang menjabat saat itu yakni HR Rookmaaker.
Konstruksi bangunan menara jam ini dibangun oleh arsitek asli Minangkabau, Jazid Rajo Mangkuto Sutan Gigi Ameh. Pembangunannya secara resmi selesai pada tahun 1926 dengan menghabiskan dana mencapai 3.000 Gulden.
Monumen Jam Gadang berdiri setinggi 26 meter di tengah Taman Sabai Nan Aluih, yang dianggap sebagai patokan titik sentral (titik nol) Kota Bukittinggi. Konstruksinya tidak menggunakan rangka logam dan semen, tetapi menggunakan campuran batu kapur, putih telur, dan pasir.
Bangunan Jam Gadang memiliki 4 tingkat. Tingkat pertama merupakan ruangan petugas, tingkat kedua tempat bandul pemberat jam. Sementara pada tingkat ketiga merupakan tempat dari mesin jam dan tingkat keempat merupakan puncak menara dimana lonceng jam ditempatkan. Pada lonceng di puncak tersebut tertera nama dari produsen mesin jam ini.
Atap berbentuk gonjong di puncak menara yang kini dapat kita saksikan bukanlah bentuk asli dari bangunan tersebut pada masa awal pendiriannya. Desain awal puncak Jam Gadang berbentuk bulat bergaya khas Eropa, dengan patung ayam jantan di bagian atasnya.
Memasuki era pendudukan Jepang, atap Jam Gadang dirubah mengikuti gaya arsitektur Jepang. Saat era kemerdekaan tiba, atap tersebut dirombak kembali menjadi bentuk atap bagonjong yang merupakan ciri khas dari arsitektur bangunan asli Minangkabau.
Sistem yang bekerja di dalamnya menggerakkan jam secara mekanik melalui dua bandul besar yang saling menyeimbangkan satu sama lain. Sistem tersebut membuat jam ini terus berfungsi selama bertahun-tahun tanpa sumber energi apapun.
Mesin yang berada di lantai tiga ini menggerakkan jarum jam yang menghadap keempat penjuru mata angin. Diameter masing-masing area perputaran jarum jam tersebut adalah 80 centimeter.
Seluruh angka jam dibuat menggunakan sistem penomoran Romawi, akan tetapi angka empat ditulis dengan cara diluar kelaziman, yaitu dengan empat huruf ‘I’ (IIII) dan bukan dengan tulisan ‘IV’. Hal ini menjadi salah satu daya tarik yang menimbulkan rasa penasaran bagi para wisatawan yang berkunjung ke kota ini.